Selasa, 09 Februari 2010
KEPADA YEHUDA AMICHAI
09.43 |
Diposting oleh
Komunitas Malaikat |
Edit Entri
Ahmad Faisal Imron
KEPADA YEHUDA AMICHAI
di hari penebusan, 1967 itu
kau menyesali semua yang tinggal debu
di kota tua Yerusalem
di negeri mesiu
pagi :
yang tinggal gema, sisa tangis di udara
secangkir kopi dan setelah itu pun terbaca
merah pelangi Laut Jawa melintas di mataku
malam :
mimpi hitam, runcing tubuh
bunyi gemetar lutut di sepanjang subuh
sepanjang mata dan bibir terkesan rapuh
sepanjang tak ada akhir, dan nyatanya…
tak ada rabi, tak ada jiwa yang mengabarkan nyeri
bahwa hitam, hitam hanyalah sebuah penyamaran
kota menjadi dingin batu, di pinggir rumah-rumah
debu bergulung merah, sengat amis darah itu
jamuan bagi burung-burung yang lepas amarah
dan seakan tak ada akhir
dan seakan-akan inilah hari pertama:
12.00
di siang muram…
apakah ada restu di jejak sepatu
tas yang tak menyimpan mesiu
bumi di hari ini, yang mulai anyir
doa di saat laju kereta, di formulir
dan sisa tinta di jari yang ungu
di selatan, semoga Yahweh tersipu
empat belas gerbong dipaksa melaju dalam hujan
menguap di atas rel-rel yang berkeringat
hingga di stasiun yang sebenarnya, hanya geming
dan sesekali mereka menyadari bahwa firman tuhan
hanya bergema di gereja-gereja dan sinagog tua
di langit petang
para lelaki dan perempuan itu
dipaksa lari telanjang
di bawah senapan, sepertinya
tak mungkin ada yang bisa
mengais igau, meraih mimpi
pada aklamasi Mei yang ke-33
lalu anak-anak dengan wajah manis mereka
langit seakan bercahaya dan memberi sedikit arti
para petinggi tentara dengan culim dan kumis lentik
geliat bayonet, dayang-dayang atau segala macam daulat itu
memaksa mereka bahwa di sini dan sejak saat ini
tak ada agresi ataupun rasa harus memiliki
langit kembali dihinggapi sunyi
kereta berlumur dingin
07.30
setelah hari itu…
matahari menjajaki semesta
bulan terpisah dari embun
tuhan di sinagog yang sepi
langit yang sepi, dan jejaknya
doa yang tak sampai di hari ini
tinggal renung di pipi lesung
di dada-dada yang murung
tapi masih bergelas-gelas susu
buat anak-anak kami
yang menunggu giliran mati
sebuah kamp, sebuah lapangan cokelat, di situ
cahaya terpantul dari 1000 ujung senapan
dalam cekang dan penuh disentri, mereka taat berjalan
di basah lumpur dan bilur
dan esok yang tak mungkin elok
pada mulanya
ajal hanya mengintip dari balik balkon
pada mulanya
hanya fiscal atau selembar tikar
demi tubuh di sisa lelah
siang yang tak terbelah
yahweh, dan yahweh tak kunjung tiba!
beribu-ribu ambulan hanya menjerit dalam ilusi
jarum jam selalu terlambat dan hari-hari begitu berat
entah sampai kapan jejak bilur ini mereda
ada sepasang kekasih yang direstui dalam pernikahan gawat
selalu berangan bunga-bunga menyirami hatinya di pagi hari
di atas kolam yang putih bersih, anak-anak
kemudian bermain air, bermain bola-bola kecil
dan seakan hari tua bagai membayang di bening marmer
di sebuah rumah yang bertabur cinta dan hangat mentari
yahweh, engkau seakan membujuk kami, agar selalu berdoa
bebaskan kami dari gembok
yang semakin hari semakin berkarat
bebaskan kami dari darah
di hati yang tak musnah
dan hari meninggalkan hari
berganti menjadi kekosongan
yang abadi, di kota api
di Pakta Munich, di mimpi-mimpi yahudi
setiap malam tinggal maut dan nyeri merenggut
pada matanya tertampung gelap kabut dan amuk badai
di tubuh-tubuh kuning janur itu, anak-anak
dan sisa perawan pada hasrat exodus yang tak letus
gelap kabut dan amuk badai
bersambung menjadi jutaan peluru
hymne para ibrani itu pun
bergulung di lubang-lubang maut
dan di enam puluh tiga kota, hari-hari
tak menyisakan desir angin bahkan kicau burung
daun-daun bagai silalatu beranjak ke dalam fana
gemuruh serdadu dan air ludah yang menyembur
seakan di sinilah seluruh bilur
yang tak juga ansur
mata manusia, di kamar-kamar gas
di bumi tanpa cahaya, di pengasingan yang luas
mata tuhan, yang tak mengirim ibu
dengan tangis di matanya yang sayu
dan mungkin menyesali, di isi bumi
kenapa tak tak seluruhnya bunga atau merpati
16.00
waktu, teramat tabu…
langit hitam, brigade kelam
seorang jiran di luka penghabisan
semangat yang beringsut
di senapan dan tuan-tuan
di fosil dan remang kabut
semoga saja ia menyimpan kasih
abolisi yang mungkin beralih
dan hanya satu-satunya seorang saudagar
yang dapat mengobati kepedihan mereka
dengan jas hitam dan meski langkah terpatah
langit dan detak jantung seakan kembali merekah
sebuah nyanyian kebesaran mereka
kembali terdengar di langit malam dan aula
mengeringkan darah dan roh yang tersisa
mereka terbangun-tersipu
salju berkunjung dalam mimpinya
tuhan Abraham, tuhan Moses
tuhan Jesus yang di bukit tabor
o, tuhan yang terlupakan!
kenapa engkau selalu tak mendengar
tangan dan tubuh busung kami memang masih berdarah
rasanya telah bosan menghirup aroma bangkai saudara kami
yang terpanggang atau terhimpit dalam lumpur
rasanya hitam tak lagi sebuah penyamaran
rasanya rabi, pastor dan seluruh utusan tuhan
dingin kota, fosil-fosil, mimpi anak-anak
lumpur semerah delima, kilau ujung senapan
sisa abolisi juga langit di hari-hari yang pahit
selalu, bulan memerah
tangis yang merah
dan empat belas gerbong itu
kembali menunggu untuk diberangkatkan
semoga dalam hujan
ada salju di utara
yang mungkin dapat menjadi sedikit penawar luka
seribu batalion yang selalu terpatung di mata mereka
dimaknai sebagai penebus dosa, gelisah yang beslah
10.00
empat hari sebelum pembebasan…
sisa harap di tungku yang gelap
semisal asap di kuning langit
di lembab kereta yang mulai berasap
bahkan ada yang mungkin terlupa
sebenarnya, luka hanyalah alasan lain
di saat tak ada lagi hamparan bumi
yang menyerap cahaya mentari
benarkah ini hari-hari sebelum pembebasan?
cahaya pagi membayang tersalib dari sebuah jendela
seorang instansi dengan sebuah mesin tik yang lapuk
menulis nama-nama yang tersisa, yang mungkin saja
akan ada semacam harapan lain bagi anak-anak
bagi sebuah negeri yang telah mati
para leluhur kami, anak cucu kami
dan hanya mimpi yang menorehkan luka
mungkin juga mereka menyesali
kenapa di bumi yang sehijau ini
tak ada seorang utusan dan kenapa tuhan tak berseru
hutan dan perbukitan akan kembali dicintai burung-burung
seribu sungai berkelok putih dalam mimpi anak-anak
tapi di kota tua kenanganmu, 1967 itu, Yehuda!
orang-orang masih berjalan di pinggir toko dan berbaju gelap
sambil menghindari perang yang semakin hari semakin silap
nampak orang-orang berjejer kaku dan tak bicara
di sebuah makam, menyusun doa, menyusun batu
setangkai mawar, cahaya mentari, dan hidup
dan bunyi lonceng di sinagog itu, semoga tidak sendiri
semoga kereta itu tak menjadi rumah abadi
2007
KEPADA YEHUDA AMICHAI
di hari penebusan, 1967 itu
kau menyesali semua yang tinggal debu
di kota tua Yerusalem
di negeri mesiu
pagi :
yang tinggal gema, sisa tangis di udara
secangkir kopi dan setelah itu pun terbaca
merah pelangi Laut Jawa melintas di mataku
malam :
mimpi hitam, runcing tubuh
bunyi gemetar lutut di sepanjang subuh
sepanjang mata dan bibir terkesan rapuh
sepanjang tak ada akhir, dan nyatanya…
tak ada rabi, tak ada jiwa yang mengabarkan nyeri
bahwa hitam, hitam hanyalah sebuah penyamaran
kota menjadi dingin batu, di pinggir rumah-rumah
debu bergulung merah, sengat amis darah itu
jamuan bagi burung-burung yang lepas amarah
dan seakan tak ada akhir
dan seakan-akan inilah hari pertama:
12.00
di siang muram…
apakah ada restu di jejak sepatu
tas yang tak menyimpan mesiu
bumi di hari ini, yang mulai anyir
doa di saat laju kereta, di formulir
dan sisa tinta di jari yang ungu
di selatan, semoga Yahweh tersipu
empat belas gerbong dipaksa melaju dalam hujan
menguap di atas rel-rel yang berkeringat
hingga di stasiun yang sebenarnya, hanya geming
dan sesekali mereka menyadari bahwa firman tuhan
hanya bergema di gereja-gereja dan sinagog tua
di langit petang
para lelaki dan perempuan itu
dipaksa lari telanjang
di bawah senapan, sepertinya
tak mungkin ada yang bisa
mengais igau, meraih mimpi
pada aklamasi Mei yang ke-33
lalu anak-anak dengan wajah manis mereka
langit seakan bercahaya dan memberi sedikit arti
para petinggi tentara dengan culim dan kumis lentik
geliat bayonet, dayang-dayang atau segala macam daulat itu
memaksa mereka bahwa di sini dan sejak saat ini
tak ada agresi ataupun rasa harus memiliki
langit kembali dihinggapi sunyi
kereta berlumur dingin
07.30
setelah hari itu…
matahari menjajaki semesta
bulan terpisah dari embun
tuhan di sinagog yang sepi
langit yang sepi, dan jejaknya
doa yang tak sampai di hari ini
tinggal renung di pipi lesung
di dada-dada yang murung
tapi masih bergelas-gelas susu
buat anak-anak kami
yang menunggu giliran mati
sebuah kamp, sebuah lapangan cokelat, di situ
cahaya terpantul dari 1000 ujung senapan
dalam cekang dan penuh disentri, mereka taat berjalan
di basah lumpur dan bilur
dan esok yang tak mungkin elok
pada mulanya
ajal hanya mengintip dari balik balkon
pada mulanya
hanya fiscal atau selembar tikar
demi tubuh di sisa lelah
siang yang tak terbelah
yahweh, dan yahweh tak kunjung tiba!
beribu-ribu ambulan hanya menjerit dalam ilusi
jarum jam selalu terlambat dan hari-hari begitu berat
entah sampai kapan jejak bilur ini mereda
ada sepasang kekasih yang direstui dalam pernikahan gawat
selalu berangan bunga-bunga menyirami hatinya di pagi hari
di atas kolam yang putih bersih, anak-anak
kemudian bermain air, bermain bola-bola kecil
dan seakan hari tua bagai membayang di bening marmer
di sebuah rumah yang bertabur cinta dan hangat mentari
yahweh, engkau seakan membujuk kami, agar selalu berdoa
bebaskan kami dari gembok
yang semakin hari semakin berkarat
bebaskan kami dari darah
di hati yang tak musnah
dan hari meninggalkan hari
berganti menjadi kekosongan
yang abadi, di kota api
di Pakta Munich, di mimpi-mimpi yahudi
setiap malam tinggal maut dan nyeri merenggut
pada matanya tertampung gelap kabut dan amuk badai
di tubuh-tubuh kuning janur itu, anak-anak
dan sisa perawan pada hasrat exodus yang tak letus
gelap kabut dan amuk badai
bersambung menjadi jutaan peluru
hymne para ibrani itu pun
bergulung di lubang-lubang maut
dan di enam puluh tiga kota, hari-hari
tak menyisakan desir angin bahkan kicau burung
daun-daun bagai silalatu beranjak ke dalam fana
gemuruh serdadu dan air ludah yang menyembur
seakan di sinilah seluruh bilur
yang tak juga ansur
mata manusia, di kamar-kamar gas
di bumi tanpa cahaya, di pengasingan yang luas
mata tuhan, yang tak mengirim ibu
dengan tangis di matanya yang sayu
dan mungkin menyesali, di isi bumi
kenapa tak tak seluruhnya bunga atau merpati
16.00
waktu, teramat tabu…
langit hitam, brigade kelam
seorang jiran di luka penghabisan
semangat yang beringsut
di senapan dan tuan-tuan
di fosil dan remang kabut
semoga saja ia menyimpan kasih
abolisi yang mungkin beralih
dan hanya satu-satunya seorang saudagar
yang dapat mengobati kepedihan mereka
dengan jas hitam dan meski langkah terpatah
langit dan detak jantung seakan kembali merekah
sebuah nyanyian kebesaran mereka
kembali terdengar di langit malam dan aula
mengeringkan darah dan roh yang tersisa
mereka terbangun-tersipu
salju berkunjung dalam mimpinya
tuhan Abraham, tuhan Moses
tuhan Jesus yang di bukit tabor
o, tuhan yang terlupakan!
kenapa engkau selalu tak mendengar
tangan dan tubuh busung kami memang masih berdarah
rasanya telah bosan menghirup aroma bangkai saudara kami
yang terpanggang atau terhimpit dalam lumpur
rasanya hitam tak lagi sebuah penyamaran
rasanya rabi, pastor dan seluruh utusan tuhan
dingin kota, fosil-fosil, mimpi anak-anak
lumpur semerah delima, kilau ujung senapan
sisa abolisi juga langit di hari-hari yang pahit
selalu, bulan memerah
tangis yang merah
dan empat belas gerbong itu
kembali menunggu untuk diberangkatkan
semoga dalam hujan
ada salju di utara
yang mungkin dapat menjadi sedikit penawar luka
seribu batalion yang selalu terpatung di mata mereka
dimaknai sebagai penebus dosa, gelisah yang beslah
10.00
empat hari sebelum pembebasan…
sisa harap di tungku yang gelap
semisal asap di kuning langit
di lembab kereta yang mulai berasap
bahkan ada yang mungkin terlupa
sebenarnya, luka hanyalah alasan lain
di saat tak ada lagi hamparan bumi
yang menyerap cahaya mentari
benarkah ini hari-hari sebelum pembebasan?
cahaya pagi membayang tersalib dari sebuah jendela
seorang instansi dengan sebuah mesin tik yang lapuk
menulis nama-nama yang tersisa, yang mungkin saja
akan ada semacam harapan lain bagi anak-anak
bagi sebuah negeri yang telah mati
para leluhur kami, anak cucu kami
dan hanya mimpi yang menorehkan luka
mungkin juga mereka menyesali
kenapa di bumi yang sehijau ini
tak ada seorang utusan dan kenapa tuhan tak berseru
hutan dan perbukitan akan kembali dicintai burung-burung
seribu sungai berkelok putih dalam mimpi anak-anak
tapi di kota tua kenanganmu, 1967 itu, Yehuda!
orang-orang masih berjalan di pinggir toko dan berbaju gelap
sambil menghindari perang yang semakin hari semakin silap
nampak orang-orang berjejer kaku dan tak bicara
di sebuah makam, menyusun doa, menyusun batu
setangkai mawar, cahaya mentari, dan hidup
dan bunyi lonceng di sinagog itu, semoga tidak sendiri
semoga kereta itu tak menjadi rumah abadi
2007
Label:
Sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar